RED BARON
Red Baron, si merah bangsawan asal Pacitan
Dan tahukah anda, jika kita bertanya kepada google warna apakah yang paling menjadi favorit di dunia? Dengan bijak Ia akan menjawab Biru, merah dan hijau. Warna dalam daftar tiga teratas ini memang menjadi favorit bagi kebanyakan orang. Dan di dunia gemstone, warna ini menjadi warna yang eksklusif. Batu dengan kualitas bahan yang bagus dengan warna-warna tersebut bisa dipastikan memiliki harga yang lebih mahal dari yang lainnya. Sekali lagi, warna merupakan salah satu faktor penunjang dari harga batu mulia.
Yang akan saya bahas di artikel kali ini adalah salah satu dari ketiga warna tersebut. Yaitu batu mulia dengan warna merah. Sesuai dengan hukum permintaan pasar, begitu pula yang terjadi di pasar gemstone lokal maupun internasional. Banyak sekali jenis batu mulia dengan warna merah yang ditawarkan. Sebut saja Ruby, Garnet, Tourmalin dan kawan-kawan. Mereka sangat populer, warna merahnya sering disebut dan didengar baik di kalangan penggemar baru maupun kawakan. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Ada satu batu mulia dengan kualitas bagus dan memiliki warna merah yang sangat mempesona. Mempunyai khas dan ciri unik dalam penampilan. Batu mulia ini adalah specimen asli dari Indonesia. Jika Mexico memiliki Fire opal, maka Indonesia mempunyai Red Baron. Bangsawan merah dari Pacitan!
Batu mulia dengan warna merah eksklusif ini adalah dari jenis Red Carnelian Chalcedony (Meski kelak klasifikasi ini juga ditambah dengan speciment lain dari jenis Fire opal). Yang depositnya diambil dari tambang Pacitan. Karena merujuk dari sejarah penamaan batu ini sendiri, memang diniatkan untuk mengangkat nama Red Carnelian Chalcedony dari Pacitan tersebut.
Adalah Eko Suryo Pranoto atau yang biasanya akrab dipanggil Mas Picis Rojobrono yang merumuskan nama tersebut. Perhatian beliau terhadap potensi batu mulia Indonesia membuatnya bersemangat untuk memajukan batuan lokal. Salah satunya yang menurut beliau patut diperhatikan adalah masalah branding. Karena masih menurut beliau, banyak batu mulia dari luar negeri berkualitas rendah namun memiliki harga yang tinggi. Hanya karena nama yang populer, akhirnya masyarakat mengabaikan kualitas yang sebenarnya menjadi pertimbangan utama dalam memilih batu mulia. Penambahan warna, mentreatment dengan peralatan canggih untuk menutupi kekurangan, seakan-akan menjadi hal yang dimaklumikan. Padahal salah satu alasan kenapa batu mulia menarik adalah karena mereka ditemukan dengan segala keindahanya dari alam. Lalu bagaimana dengan batuan lokal Indonesia? Hal ini menjadi kebalikannya. Hanya karena penyebutan nama yang tidak populer sehingga faktor kualitas diabaikan dalam pemberian harga jual. Bahkan keindahannya yang tanpa campur tangan manusia juga tidak dihiraukan. Sehingga batuan lokal cantik yang semula disebut sebagai Akik Darah ini kehilangan pamor bahkan peminatnya.
Nama Red Baron sendiri sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui asal-usul dan kebenarannya. Sebagian pecinta batu mulia menganggap nama ini adalah pelesetan dari Red Brown, karena spesifikasi warnanya yang memang tergolong di "Red Brownish". Padahal sebenarnya Mas Picis Rojobrono mendedikasikan nama ini kepada para keturunan Majapahit dengan Alur Keturunan Bhre Kertabumi Wijaya, yaitu khususnya Pangeran Buwono Keling . Yang sejatinya adalah pendiri kota Pacitan. Bangsawan Merah yang tersingkir.
Meski "Baron" sendiri oleh KBBI diartikan sebagai "gelar bangsawan Eropa". Namun masyarakat Indonesia sudah lama menyerap dan terbiasa menyebut "Baron" untuk gelar semua bangsawan. Tidak hanya dikhususkan bagi Eropa saja.
Eksistensi Red Baron ini juga tidak terlepas dari banyak pihak yang mendukungnya. Terutama para penemu dan pengerajin. Yang tokoh utamanya adalah Mbah Timbul, sesepuh dan senior pengerajin batu mulia di Donorojo, Pacitan. Beliau ini lah yang pertama kali menemukan material jenis Chalcedony ini di Pacitan. Beberapa variant yang termasuk langka di dunia perbatuan. Untuk jenis yang sama, varian ini memiliki kelebihan dalam hal menyerap cahaya. Sehingga setelah dibentuk, akan mengeluarkan fenomena yang unik. Luster yang memancar meski berada dilingkungan dengan cahaya rendah, atau fenomena seperti cat eyes yang double atau bahkan rangkap tiga.
Menyadari potensi ini, Mas Picis dan kawan-kawan di komunitas Precious Indonesia melanjutkan promosinya. Diantaranya adalah dengan mengirim sample ke beberapa laboraturium gemologis di Jakarta. Bahkan adapula yang dikirimkan ke pusat BIG lab di Singapura. Yang kemudian oleh mereka dilanjutkan dikirim ke Jepang agar bisa diteliti lebih dalam di sana. Hal ini dalam rangka pengenalan, yang menjadi hal sangat penting untuk mendapatkan pengakuan dari laboraturium gemolog hingga akhirnya bisa diterima oleh para pemain batu mulia.
Kesimpang-siuran nama, keragu-raguan atas "kenaturalan" Red Baron, tidak lantas membuat batu berwarna merah favorit ini kehilangan penggemarnya. Meski saat ini ramai diberitakan tentang betapa lesunya pasar batu mulia, namun masih banyak para kolektor dan pecinta batuan memburunya. Bisa saja banyak "Red Baron-Red Baron" lain bermunculan di pasar batu mulia. Atau Bisa saja China membuat kembarannya seperti sintetis Bacan sebelumnya. Tapi percayalah, alam tidak akan memberikan keburukan atas semua keindahan yang telah dikeluarkannya.
Salam Precious Indonesia. (disadur from inakik.ga)
Comments
Post a Comment